Alat musik Angklung - Dari Jawa Barat
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu,
dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan
badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun
kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Sejak kapan angklung muncul masih belum bisa diketahui secara pasti.
Namun, ada angklung tertua yang usianya sudah mencapai 400 tahun.
Angklung tersebut merupakan Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga,
Bogor, Jawa Barat. Di Serang, angklung jenis ini dianggap sebagai alat
musik sakral yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang
sakit atau menolak wabah penyakit.
Angklung memang dikenal berasal
dari Jawa Barat. Namun, di beberapa daerah di Indonesia juga ditemukan
alat musik tradisional tersebut. Di Bali, angklung digunakan pada saat
ritual Ngaben. Di Madura, angklung digunakan sebagai alat musik
pengiring arak-arakan. Sementara di Kalimantan Selatan angklung
digunakan sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah mencatat
bahwa di Kalimantan Barat juga terdapat angklung, tapi menurut beberapa
tokoh kebudayaan, angklung tersebut tidak ada lagi.
Pada 1938, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada
suara diatonik. Selain sebagai pengiring mantera, awalnya, angklung
digunakan untuk upacara-upacara tertentu, seperti upacara menanam padi.
Namun, seiring dengan berkembangnya alat musik ini, angklung digunakan
dalam pertunjukan kesenian tradisional yang sifatnya menghibur.
Pada
masa penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan
semangat nasionalisme penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah Belanda
melarang permainan angklung, kecuali jika dimainkan oleh anak-anak dan
pengemis karena dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun.
Setelah
mengalami pasang surut, Daeng Soetigna berhasil menaikkan derajat alat
musik angklung. Bahkan, angklung diakui oleh seorang musikus besar asal
Australia Igor Hmel Nitsky pada 1955. Angklung dengan suara diatonis
yang diciptakan oleh Daeng membuat angklung turut diakui pemerintah
sebagai alat pendidikan musik.
Sepeninggal Daeng Soetigna,
angklung dikembangkan lagi berdasarkan suara musik Sunda, yaitu
salendro, pelog, dan madenda. Orang berjasa yang mengembangkannya adalah
Udjo Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna
ini mengembangkan alat musik angklung pada 1966.
Sebagai wujud
mempertahankan kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal Mang Udjo
membangun pusat pembuatan dan pengembangan angklung. Tempat tersebut
diberi nama “Saung Angklung Mang Udjo”. Lokasinya berada di Padasuka,
Cicaheum, Bandung. Di tempat ini, seringkali diadakan pertunjukan
kesenian angklung. Pengunjung yang hadir dapat ikut serta mencoba
belajar memainkan alat musik tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar